Popular Posts

Nov 27, 2016

BUMI MANUSIA

(artikel ini dibuat sebagai laporan ke Galeri Nasional pada 24 Feb 2016)

Pada akhir Januari saya berpartisipasi dalam Kolkata Internasional Performance Art Festival 2016 (KIPAF16). Sampai disana subuh dan masih gelap, seluruh pemandangan kota tampak samar, hanya terasa udara yang sangat dingin –disana sedang musim dingin. Saya tinggal di rumah Tapati Chowdhury, perilaku keluarganya sama seperti di Indonesia, orang tua yang perhatian dan dekat. Dengan segera terasa nyaman dan enak tentunya, saya merasakan kehangatan rumah pada umumnya, hanya jenis makanannya saja yang berbeda.

Sorenya Tapati Chowdhury mengajak saya bergabung dengan rombongan KIPAF16 yang sedang melakukan promosi di tengah New Market. Rombongan KIPAF16 memulai promosi bergaya open session, seseorang menggambar pakai kapur di lantai, di area terbuka tengah pasar. Orang-orang yang sedang berada di pasar tersebut dengan segera mengerumuni gambar tersebut. Kapur yang dibawa warna-warni, kami semua diberi sebongkah untuk turut merespon, anak-anak gelandangan juga bersukarela menyelesaikan gambar tersebut.

Seorang diantara rombongan KIPAF16 tampak jalan keliling membawa lembaran foto-kopian keterangan event, ember kecil untuk donasi. Kemudian sebuah lapak digelar, terdapat kaos KIPAF16, kartu pos dokumentasi performance art, serta pernak-pernik keterampilan lainnya.

1//
Besoknya kami bertemu untuk orientasi seluruh titik tampil, dimana KIPAF16 menjelajahi wilayah Utara kota Kolkata. Pertama semua bertemu diluar stasion Girish Park Metro, jalan menuju taman Hedua. Di taman tersebut terdapat kolam tua yang lebih tampak seperti danau buatan, namun kolam ini dikelilingi pagar yang cukup tinggi.


Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas

Dalam paparan yang mereka sampaikan dijelaskan bagaimana mereka melihat kota, contohnya lokasi tempat pertemuan kami tersebut (taman Hedua), banyak taman kota atau tempat berkumpul tengah kota; namun selalu ada pagar pembatas yang membuat orang orang berjarak, hanya bisa melihat.

KIPAF mulai berlangsung sejak 2012, di inisiasi oleh organisasi Performance Independent (Pi). Tujuan Pi melalui KIPAF adalah untuk membuka kota Kolkata sebagai tempat performance art, beserta intervensinya. Sehingga pemilihan lokasi sebagian besar di wilayah terbuka. Setiap tahun ada titik-titik jelajah baru dalam kota Kolkata, berdasarkan prilaku orang-orang serta kebendaan di sekitar titik tersebut.

Sebagaimana penjelasan dalam pertemuan di Taman Hedua, tema KIPAF16 adalah Why Kill A Mocking Art, dengan masih memegang semangat menduduk-kuasa ruang terbuka. Sebagaimana dalam blog KIPAF16, tema ini memiliki kumpulan pertanyaan: “Apa yang membuat kita mengejar prioritas, mengapa hal tersebut diperlukan? Di mana kita menemukan keintiman dalam performance art? Bagaimana kita menginterogasi aspirasi yang sangat intim, yang mendorong kita terhadap aksi?”

Lantas pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan beberapa turunannya: “Bagaimana kita memposisikan antara performance art dan seni pertunjukan? Apakah sebuah jalan adalah ruang? Hubungan antara ketinampilan, aksi dan kepenulisan?”



Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas
Chirantan Mukhupadhaya menanyakan respon saya atas kumpulan pertanyaan tersebut. Lantas saya menjawab bahwasanya hal yang sangat mirip juga berjalan dalam pikir saya. Saya terus belajar dan bertanya mengenai bagaimana membakar gagasan, memprioritaskan ragam pilihan jalur kekaryaan. Mempertanyakan bagaimana menata suatu gagasan menjadi sebuah konsep, mempertanyakan suatu bentuk karya yang mewakili orang banyak sehingga tidak sulit ditangkap para penikmat; serta pengembangannya melalui percakapan pro/kontra setelah menghadirkan sebuah karya.

Berusaha menyusun konsep yang tepat tanpa berlebihan atau berkekurangan, mencari jalan yang dekat atau setidaknya tidak sulit untuk ditangkap para penikmat karya. Seandainya ada satu disiplin kesenian yang tidak saya kuasai, maka saya akan mengajak beberapa rekan lain untuk saling mengisi.

Pertanyaan dan jawaban atas penjelasan tema tersebut, kembali hadir dalam kepala saya saat pertemuan di Taman Hedua. Kemudian tim KIPAF16 mengumumkan jadwal selama empat hari kedepan, lokasi-lokasi yang akan disinggahi. Di akhir pertemuan kami diberitahukan untuk memilih lokasi yang ingin kami pergunakan untuk tampil. 

Setelahnya kami semua berjalan ke taman lain bernama Company Bagan. Disana terdapat sebuah lapangan besar, tampak banyak kelompok bermain cricket. Selain itu terdapat berbagai taman kecil-kecil berpagar, dengan patung dan relief.





Melalui jalan kecil kami menuju ke wilayah Pathuriaghata, area pemukiman tertua di Utara kota Kolkata. Kami memasuki bangunan pribadi agak tertutup, seperti sebuah komplek kos kosan 3 lantai yang cukup luas. Beberapa ruang tampak dipakai untuk kantor, ruang pertemuan dan sebuah area sembahyang. Ditengahnya terdapat ruang terbuka yang cukup lebar. Seluruh partisipan dapat memilih seluruh lantai dasar sebagai arena performance art.

Setelahnya kami jalan menuju stasion Baghbazar yang bersebelahan dengan Sungai Gangga. Tidak langsung menaiki kereta, kami berjalan mengitari kawasan stasion tersebut. Lajur kereta tersebut merupakan jalur tertua yang mengelilingi kota Kolkata, yang sangat penting untuk mengangkut barang dagangan dari berbagai sudut kota. Begitu keluar stasion tampak sangat ramai dengan truk besar yang mengangkut berbagai dagangan, keluar masuk stasion tidak ada pintu khusus, banyak pedagang dan orang tidur di lantai.

Menaiki kereta Chakra Rail kami menuju Stasion Majerhat. Perjalanan menuju Majerhat memakan waktu satu jam lebih, sehingga didalam kereta banyak berlangsung diskusi dan sebagian besar mulai berimprovisasi, bermain musik sampai melakukan aksi merespon ruang dalam kereta.

Setibanya di stasion Majerhat, beberapa orang melakukan performance art di lajur kereta yang kosong. Ada yang tidur di rel, ada yang berkerumun saling bersandar dan mengelilingi kerumunan dengan benang. Ada yang menulis di tembok. Sementara beberapa orang masih bermain musik.



Foto diambil dari halaman facebook KIPAF16
Tak lama beberapa orang petugas keamanan hadir. Mereka bertanya karena khawatir tindakan beberapa seniman di kawasan tersebut dapat membahayakan nyawa. Tampak beberapa tim KIPAF16 berkomunkasi dengan petugas keamanan, sementara prosesi performance art tetap berlangsung, begitupun yang bernyanyi. Setelah agak lama, panitia memberitahukan bahwa petugas keamanan meminta beberapa foto dari tiga kamera untuk kemudian menghapusnya, tetapi lucunya sebelum dipertunjukan kepada petugas file foto-foto tersebut sudah di pindah ke laptop.

Bagi saya cara Pi bernegosiasi dengan petugas cukup menarik. Menurut Tapati Chowdhury mereka sudah pernah mencoba mengajukan perijinan, namun yang terjadi adalah mereka di lempar ke berbagai lembaga pemerintahan. Menurutnya pihak pemerintah kebingungan harus mengkategorikan performance art kemana.

Lagi pula para petugas biasanya menghampiri apabila ada laporan dari masyarakat, begitupun sebaliknya, masyarakat dapat membela apabila mereka tidak terganggu. Umumnya masyarakat dengan antusias menonton (bahkan terlibat) dalam performance art, beberapa lainnya cukup terhibur/terwakili dengan penampilan para performer.

Dilain kesempatan Rahul Bhattacharya menjelaskan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap satu titik yang ditunjuk untuk arena para penampil performance art. Mereka akan melakukan kunjungan ke titik tersebut secara berkala, mengamati ragam aktivitas yang berlangsung, kemudian melakukan beberapa performance art sederhana. Kesemua tahapan tersebut dilaksanakan, agar orang-orang yang biasa berada di lokasi tidak begitu terkejut ketika festival berlangsung.

Setelahnya kami kembali ke stasion Baghbazar, lalu duduk-duduk di pelabuhan kecil pinggir Sungai Gangga. Mengamati aktivitas pinggir sungai, banyak orang duduk-duduk disana.

2//
Tibalah saat rangkaian performance art di mulai, berlangsung padat selama tiga hari dengan total 46 seniman berpartisipasi. Belum termasuk beberapa seniman lain yang melibatkan diri secara langsung dalam open session. Beberapa seniman melakukan performance lebih dari sekali, ada juga yang kerap merespon beberapa seniman lainnya.

Nyaris seluruh performance art memiliki makna yang dalam. Tidak semua seniman berada di lokasi yang jelas, ada yang muncul secara tiba-tiba di kerumunan, serta tampil saat berpindah dari lokasi yang satu ke lainnya. Ada juga yang melakukan durasi panjang.

Sepanjang tiga hari tersebut saya harus selalu waspada menangkap apa saja yang terjadi di sekitar. Apakah kejadian yang memang umum terjadi di lokasi tersebut, atau memang dilakukan dengan maksud berkarya seni.

Tangkapan pertama saya adalah penampilan Anupam Saikia di Pathuriaghata. Penampilan Anupam terinspirasi isu dibalik bunuh diri Rohith Chakravarti Vemula, yang terjadi seminggu sebelumnya.


Rohith seorang mahasiswa PhD dari kampus yang sama, kini kematiannya memicu serangkaian protes di seluruh India. Catatan bunuh diri Rohith terbit di koran, bunuh diri dia lakukan sebagai pernyataan politis atas diskriminasi kasta yang dialaminya. Dia kaum Dalit, kasta terendah kelima, yang kini tidak ditulis dalam runutan kasta dalam sistem Varna (Hinduism).

Anupam memprotes keadaan tersebut. Benang putih dikalungkan melintasi tubuhnya seperti para Brahman (kasta tertinggi), memakai peci dan sarung. Kemudian sambil berkaca dia mencoreng wajahnya, memberi bindi di keningnya kemudian menulis “I Have Becoming A Monster” ditubuhnya.

Dalam KIPAF16 tidak hanya penampilan Anupam yang terinspirasi dari peristiwa bunuh diri Rohith, ada banyak sekali penampilan yang mengangkat tentang ini. Apakah terus menerus menampilkan wajah Rohith adalah satu-satunya cara untuk meneruskan perjuangannya, ataukah melakukan gerakan mengisi ruang kesana-kemari dengan cepat dan berteriak adalah cara seragam lainnya, atau membakar-bakar kertas koran banyak-banyak juga melilit tubuh dengan benang/lakban/tali/perban, menggelontorkan banyak-banyak cat merah/hitam adalah satu-satunya cara menyampaikan pesan?


Foto diambil dari halaman KIPAF16 di facebook
Penampilan Inder Salim di lokasi yang sama hari berikutnya juga mengambil isu yang sama, namun ditampilkan tidak seragam. Dia cenderung mengajak ngobrol penonton. Membuka kertas dengan nama Rohith, meletakan plakat Hindustan Ratan. Kemudian menegulingkan pohon mini, menjelaskan bahwa pohon tersebut biasanya disakralkan. Kemudian membaca catatan bunuh diri Rohith sambil terus mempertanyakan diskriminasi sedemikian banyaknya di India.

Inder Salim menyatakan bahwa Republik India telah memberikan penghargaan Bharat Ratna kepada para petinggi di masyarakat yang dibatasi sampai 45 individu. KIPAF16 menjadi wadah baginya sebagai seri kinerja Hindustan Ratan untuk memberikannya kepada 45 warga radikal India, yang bekerja dan hidup dengan membuat perbedaan untuk gerakan perjuangan minoritas di seluruh negeri. 

Pertama Bengal Ratan diberikan kepada Rohit Veluma pada 24 Januari 2016, catatan bunuh diri Rohith menjadi tanda perlawanan. Sebagaimana yang diterbitkan di indianexpress.com, catatan bunuh diri Rohith:
Good morning, 
I would not be around when you read this letter. 
Don’t get angry on me. I know some of you truly cared for me, loved me and treated me very well. 
I have no complaints on anyone. 
It was always with myself I had problems. 
I feel a growing gap between my soul and my body. 
And I have become a monster. 
I always wanted to be a writer. A writer of science, like Carl Sagan. 
At last, this is the only letter I am getting to write. I always wanted to be a writer. 
A writer of science, like Carl Sagan. 
I loved Science, Stars, Nature, but then I loved people without knowing that people have long since divorced from nature. 
Our feelings are second handed. Our love is constructed. Our beliefs colored. 
Our originality valid through artificial art. 
It has become truly difficult to love without getting hurt. 
The value of a man was reduced to his immediate identity and nearest possibility. To a vote. 
To a number. To a thing. Never was a man treated as a mind. 
As a glorious thing made up of star dust. In every field, in studies, in streets, in politics, and in dying and living. I am writing this kind of letter for the first time. 
My first time of a final letter. Forgive me if I fail to make sense. 
My birth is my fatal accident. I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. 
May be I was wrong, all the while, in understanding world. 
In understanding love, pain, life, death. 
There was no urgency. But I always was rushing. 
Desperate to start a life.
 All the while, some people, for them, life itself is curse. 
My birth is my fatal accident. 
I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. I am not hurt at this moment. 
I am not sad. I am just empty. Unconcerned about myself. 
That’s pathetic. And that’s why I am doing this. 
People may dub me as a coward. And selfish, or stupid once I am gone. 
I am not bothered about what I am called. 
I don’t believe in after-death stories, ghosts, or spirits. 
If there is anything at all I believe, I believe that I can travel to the stars. 
And know about the other worlds. 
If you, who is reading this letter can do anything for me, I have to get 7 months of my fellowship, one lakh and seventy five thousand rupees. 
Please see to it that my family is paid that. 
I have to give some 40 thousand to Ramji. 
He never asked them back. But please pay that to him from that. 
Let my funeral be silent and smooth. 
Behave like I just appeared and gone. Do not shed tears for me. 
Know that I am happy dead than being alive. 
“From shadows to the stars.” Uma anna, sorry for using your room for this thing. 
To ASA family, sorry for disappointing all of you. 
You loved me very much. I wish all the very best for the future. 
For one last time, Jai Bheem I forgot to write the formalities. 
No one is responsible for my this act of killing myself. 
No one has instigated me, whether by their acts or by their words to this act. 
This is my decision and I am the only one responsible for this. 
Do not trouble my friends and enemies on this after I am gone.


3//
Rangkaian performance art lainnya ada yang menuai senyum para penonton. Misalkan presentasi “SAC Travel” oleh Vidisha Saini dan Alex Yudzon. Mereka tampil singkat setiap harinya, sesaat sebelum makan siang. Mereka tampak benar-benar seperti mempresentasikan sebuah usaha paket tamasya. Namun apabila benar-benar didengarkan, penjelasannya banyak mensatirkan kondisi yang dilakukan para turis ke kota-kota eksotis.

Kalimatnya mereka buka dengan: Travel SAC adalah sebuah perusahaan berpikiran progresif, bertanggung jawab lokal-global dan bergerak mengkhususkan diri dalam lini produk inovatif yang meringankan kesulitan bepergian ke luar negeri. 

Kemudian mereka akan membagikan jepit jemuran plastik untuk dijepit di hidung para penonton. Sambil terus menceritakan betapa menyenangkannya membeli produk (jepit jemuran) tersebut. Bagaimana kita memfoto kampung miskin dan melihatnya sebagai komoditi wisata.
Saya langsung ingat dengan menjamurnya desa-desa wisata di Indonesia, mengubah bentuk rumah agar bertaraf internasional, menyoroti hal-hal di desa mereka yang kira-kira bisa menjadi eksotis, guna memanjakan para turis.

Sebagaimana dalam catatan Srinia Chowdury, dia menangkap sebuah sindiran atas kekejaman suatu merek, bagaimana sebuah produk biasa diiklankan sedemikian rupa sampai menjadi luar biasa.

Karya lain yang penampilannya juga memberikan senyuman adalah Mohamad Haryo Hutomo dan Sakinah Alatas. Mereka membagikan balon hati merah sambil jalan ke Company Bagan.

Sesampainya di taman, Haryo mengajak para penonton berpelukan. Sementara saat orang-orang saling memeluk, Sakinah membungkus tubuh mereka dengan kain kuning. Lingkar peluk menjadi cukup besar, orang-orang terus diajak berpelukan sampai kain kuning yang mereka lilitkan habis. Setelahnya mereka sedikit bergerak ke suatu arah, sehingga semua terpaksa ikut bergerak.





Saat itu kami mendiskusikan betapa penampilan tersebut seperti monumen bergerak. Orang-orang yang terlibat berpelukan juga beragam, mulai dari sesama seniman sampai orang-orang asing dan anak-anak di taman itu juga ikut.

4//
Dua penampilan yang berada di antara adalah Ali Asgar. Di sepanjang perjalanan dari Pathuriaghata ke Company Bagan, Ali mengambil foto selfie menggunakan telpon genggamnya.




Ali menghampiri orang-orang untuk foto bersamanya, dengan memakai kerudung, lipstik, membawa cermin serta mengalungkan citra dewa Hindu. Beberapa orang tampak nyaman serta bersukarela saat foto bersamanya.

Kini nyaris di semua akun sosmed kita bisa melihat jutaan orang melakukan hal yang sama, foto menggunakan kamera depan telpon genggam (selfie maupun wefie). Entah keterangan fotonya berbau filosofis maupun iklan suatu kawasan, bahkan para biksu melakukan hal yang sama dalam perayaan Waisak di Candi Prambanan.

Ali berasal dari Bangladesh, saat dia memakai lipstik dan berkerudung, membuat saya membayangkan hidup sebagai gay (apalagi waria) di negaranya pasti sangat berat.

Penampilan lainnya oleh Monica Nanjunda, duduk bersila dalam diam sepanjang hari di sudut koridor bangunan Pathuriaghata. Monica duduk beralaskan terpal biru, serta sekantong beras didekatnya. Geraknya pelan dan konstan mengambil butir beras sedikit demi sedikit, terkadang membentuk huruf, ataupun hanya menumpuk sebagian disatu sisi. Kemudian beras yang dia sebarkan tersebut dimasukan kembali kedalam kantong.





Disampingnya terdapat teks bertuliskan “Kau mengingat terlalu banyak. Ibu saya berkata kepada saya baru-baru ini, mengapa berpegang pada semua itu? Saya-pun berkata, dimana bisa meletakannya? Kemudian ibu saya akan mengalihkan pembicaraan jadi tentang bandara.”


Ketika rombongan berpindah ke stasion Majerhat, Monica masih melakukan hal yang sama. Kali ini dibawah tiang listrik. Hanya diam dan bermain butir-butir beras. Apabila ada yang berinteraksi dengannya, dia akan menanggapi masih dalam diam. Saat Chirantan Mukhopadhaya mengulurkan tangan, Monica memberi bebrapa butir beras.


5//
Saya memilih tampil di Taman Hedua. Membawa telur ayam putih yang sudah saya isi dengan Alta. Meletakannya di atas sobekan koran di bangku tegel, dibawah lampu taman. Kemudian telur-telur tersebut saya pecahkan menggunakan kening, sambil berpose layaknya sedang bersujud, saat telur mentah tersebut pecah, warna kuning melebur dengan merahnya Alta.

Alta adalah pewarna merah dari serangga yang hidup di pohon (Lac insect), biasa dipakai saat ritual Hindu dalam pernikahan dan kematian. Saat menikah mempelai perempuan akan memakai ini di kakinya, dengan gambar motif sebelum masuk rumah. Perbedaannya dalam upacara kematian, pewarna diterakan di telapak kaki tanpa gambar, sebagai simbol penghargaan atas rasa duka.





Saya membawa koran Jakarta Post yang saya ambil sebelum terbang ke India. Saat itu masih segar berita tentang pemboman dugaan teroris di Jakarta. Lima berita dari koran hari itu berkisah tentang berbagai konflik yang sedang berlangsung di dunia.

Saat foto-foto penampilan ini di unggah di halaman Facebook KIPAF16, mereka menjudulinya “Civilisation & Fragility”, dengan segera saya menyukainya.


Sudah bertahun-tahun saya mempertanyakan tentang konflik/perang di dunia yang memakan banyak korban nyawa, terutama pertentangan antar agama. Keyakinan seseorang yang seharusnya sangat subtil dalam inti jiwa kerap dipaksakan untuk membuncah keluar, memaksa orang lain untuk berkeyakinan sama.

Lepas dari berbagai penampilan tersebut, hal yang membuat saya bahagia adalah saat beberapa penonton mengajak berdiskusi, langsung setelah saya tampil.


Seorang bapak sambil menggendong bayinya, juga sangat khawatir dengan perkembangan kumpulan fanatik Hindu di India. Layaknya perkembangan kelompok fanatik Islam di Indonesia. Kami sama-sama khawatir membayangkan apakah dikemudian hari para manusia akan lebih fanatik dan diskriminatif atas nama agama tertentu.

Hal yang sama juga ditampilkan oleh Chobi Zulfiqure dan Shubho O Saha, mereka duduk sambil menggigit sebatang kayu penyangga kertas bertuliskan religion yang di coret.


Foto diambil dari artikel I SAW oleh Srinia Chowdury di blog iKIPAF


Penutup
Penampilan yang sangat sederhana namun membekas. Bila kita menelusuri berita di internet, kita akan menemukan bahwa hari ini, banyak sekali kejadian mematikan di dunia akibat perang yang mengatas-namakan agama. Walau kita semua ragu, apakah benar manusia sudah tidak punya hati dan menghalalkan darah manusia lainnya.

Seluruh kisah yang saya paparkan diatas hanya seperdelapan dari berbagai aktivitas yang sangat padat terjadi, selama satu minggu Kolkata Internasional Performance Festival 2016.

Lega rasanya bertemu orang-orang dari berbagai negara dan berbagi kegelisahan yang sama. Tampaknya novel Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang kondisi tekanan hidup di jaman penjajahan Belanda masih belum berubah. Penjajahan masih terus berlangsung, hanya kali ini seperti hantu yang rajin berganti pakaian, dipercaya ada namun tidak bisa diidentifikasi.